Tittle: 24 Days Adventure || Author: Jeon JR
Genre: Friendship || Leght: Chaptered || Rating: G
Main Cast: Jin, Namjoo, Rap Monster, Jimin, Suga, V ||
Genre: Friendship || Leght: Chaptered || Rating: G
Main Cast: Jin, Namjoo, Rap Monster, Jimin, Suga, V ||
=========
Chapter 3
=========
Sungguh, maafkan Author.. ngepos-nya lama banget.. :'(
Mozila sama Chrome eror, di Opera gak bisa buat buka blogger..
Sekali lagi Author minta maaf...
China, 26 Juni 2014.
Pagi ini, Jin sedang ada di perpustakaan, di kampusnya. Sedari jam sembilan pagi tadi, dia sudah ada di dalam sana. Tidak ada bosan-bosannya, dia membolak-balikkan buku setebal setengah sentimeter yang dicetak berwarna, yang berjudul “Everest”. Menurutnya, buku ini sangatlah menarik. Jin tidak pernah bosan membacanya berkali-kali.
“Jin, apa kau tidak bosan membaca buku itu terus?” tanya seorang teman Jin yang bernama Gil Dong.
“Kan sudah kubilang, buku ini menarik” jawabnya.
“Yang aku herankan, kenapa kau masih saja membacanya, padahal beru tahun kemarin kau mendaki
Everest” kata Gil Dong lagi. Dia meneruskannya. “Menurutku, kau sudah cukup tahu, dan tidak perlu membacanya lagi”
“Aku tidak hanya ingin tahu tentang gunung Everest. Aku mendaki, untuk merasakan bagaimana keajaiban terjadi disana. Dan membuatku lebih dekat dengan yang bernama alam. Aku membaca, untuk mendapat ilmu yang lebih mendalam tentang Everest. Aku tidak ingin hanya mendapat satu manfaat diantara keduanya. Aku ingin mendapatkan keduanya. Ilmu dan pengalaman” jawab Jin, dengan senyuman yang terukir dibibir. Gil Dong menatap Jin, lalu ikut tersenyum.
“Sekarang kau mengerti?” tanya Jin.
“Ya, aku mengerti. Kau memang benar-benar pecinta alam sejati” kata Gil Dong. Keduanya tersenyum sangat manis.
Jin membuka tasnya, dan mengambil ponselnya. Hal yang selalu Jin lakukan pada ponsel itu adalah, membuka e-mail, lalu melihat pesan yang masuk.
Terdiam...
Senyuman kecil kembali terukir dibibirnya, setelah membaca pesan dari Yoon Gi. Tanpa pikir panjang, dia langsung membalas pesannya.
Kepada : Kim Tae Hyung, Kim Nam Joo, Min Yoon Gi, Kim Nam Joon, Park JiminJimy
Tunggu aku! Dua hari lagi, aku pasti akan pulang, dan akan kuceritakan semuanya padamu, sahabatku..
Dan semua, aku harap, kita akan pulang secara bersamaan. Kita harus sampai di Korea bersamaan. Bagaimanapun caranya. Usahakanlah! Demi Yoon Gi. Aku merindukan Korea...
Sending...
Korea, 28 Juni 2014
Min Yoon Gi dan Ji Young baru saja sampai di bandara dengan mobil keluarganya. Beberapa saat kemudian, sebuah pesawat dari Australia mendarat di bandara Internasional Korea Selatan. Sebelumnya, pesawat dari China juga sudah mendarat sedari tadi, dan seseorang tengah menunggu Yoon Gi dan Ji Young.
“Seok Jin!” suara lantang Yoon Gi memanggil Jin yang sedang menunggunya. Jin melambaikan tangannya.
“Sudah lama menunggu?” tanya Yoon Gi. Lalu langsung memeluk Jin.
“Ah, tidak juga. Aku juga sedang menunggu yang lainnya” jawab Jin, sambil membalas pelukan Yoon Gi.
“Oppa, apa kabar?” sambut Ji Young.
“Ye, baik” jawab Jin. “Ah, ternyata benar kata Jimin. Ji Young jadi tambah cantik” puji Jin.
“Yoon Gi! Jin!” seseorang memanggil mereka, seorang wanita yang memakai kacamata hitam. Rambut yang selalu tergerai itu, mengingatkan Yoon Gi dan Jin pada seseorang.
“Namjoo!” teriak keduanya bersamaan. Namjoo berlari, menghampiri mereka, dan tanpa pikir panjang, langsung berpelukan.
“Aku sangat rindu” ucap Namjoo. Tidak terasa, air matanya keluar. “Kalian jahat! Membiarkan aku menangis seperti ini”
“Ya ampun! Bidadari kita menangis..” kata seseorang.
Semua menoleh ke samping kanan. Terlihat, seorang pria bertubuh tinggi, dia memakai kacamata hitam, sambil merentangkan tangannya. Senyuman orang itu, mengingatkan pada seseorang. Namjoo langsung berlari ke arahnya, lalu memeluknya.
“Tae Hyung!” teriak Jin dan Yoon Gi.
“Kau masih saja seperti dulu! Kau itu Alien! Kau muncul dimana-mana! Kau itu Idiot! Kau itu.. kau..” Namjoo tidak melanjutkan perkataanya. Dia tambah mengeluarkan banyak air matanya ketika melihat sang Leader berjalan dengan santai, menghampirinya. Namjoo masih di pelukan Tae Hyung.
“Kejutan apa lagi ini? Kenapa datang seperti itu?” tanya Namjoo.
“Haha.. iya, sebenarnya aku berangkat bersama Namjoon” jawab Tae Hyung. Namjoo beranjak menghampiri Nam Joon, lalu memukul-mukul lengannya.
“Kau ini kemana saja? Menghilang! Tidak pernah menemui kembaran namamu ini! Kenapa?!” kata Namjoo.
“Hei, Nam Joon. Kau yang tambah tinggi, atau aku yang semakin pendek ya?” kata Yoon Gi, lalu memeluk Nam Joon.
“Tahu tidak? Malam itu, aku seperti merasa kau berteriak padaku dalam mimpi, ‘Dasar anak pemalas’. Apa maksudnya itu?” tanya Nam Joon.
“Kau ini memang leader yang pemalas!” tiba-tiba sosok Jimin yang tampan p\muncul dari belakang. Semua melirik ke arahnya, lalu beberapa saat kemudian, senyuman terukir di bibir mereka. Keenam sahabat itu kembali berpelukan, setelah tiga tahun lamanya, tidak pernah merasakan pelukan seperti ini. Ji Young, hanya tersenyum melihat kebahagiaan mereka, seakan dia juga merasakan kebahagiaan itu.
“Ji Young, kenapa hanya diam disitu? Kemarilah..” ujar Namjoo. Ji Young akhirnya menghampiri mereka dan ikut berpelukan.
***
Mobil Yoon Gi baru saja sampai di depan rumah sahabatnya, Nam Joon. Tapi Nam Joon belum juga turun dari mobil untuk bergegas memasuki rumahnya. Dia masih memandangi rumahnya dari dalam mobil. Rumahnya, yang penuh dengan kehangatan diantara kedua orang tuanya. Baru sekali, dia merasakan kerinduan seperti yang dia rasakan sekarang ini. Benar-benar sangat rindu.
“Kenapa hanya diam saja?” tanya Yoon Gi pada Nam Joon. Terlihat, mata Nam Joon yang berkaca-kaca. Dan sebelum bening kristal itu menetes, sahabatnya segera mencegah hal itu.
“Seorang leader, tidak boleh cengeng! Ingat itu” kata Tae Hyung.
“Leader harus bisa menahan air matanya. Jangan menangis kalau hanya masalah seperti ini.” Sambung Jin.
“Kerinduan, jangan sampai membuat seorang Leader meneteskan air mata” sahut Jimin.
“Lihat, apa kau tidak malu? Kau kan seorang Leader di gerombolan ini” kata Yoon Gi. Ucapan teman temannya, membuat Nam Joon tidak jadi meneteskan air matanya. Dia kembali tersenyum.
“Aku akan turun sekarang. Kalian juga ya!” kata Nam Joon, dan disambut senyuman manis oleh teman temannya. Satu per satu dari mereka turun dari mobil. Gerbang rumah Nam Joon terbuka, jadi mereka langsung memasukinya.
Ting Tong! Bel rumah ditekan.
Ddrrrtt.. Drrtt.. pnsel Yoon Gi bergetar, tanda ada pesan masuk.
“Kenapa belum juga dibuka?” gumam Nam Joon. “Apa tidak ada orang?”
“Oppa, siapa?” tanya Ji Young pada Yoon Gi.
“Ibu” jawabnya.
Yoon Gi, teman-temanmu sudah sampai semua atau belum? Kalau sudah, bawa saja mereka ke rumah. Semua sudah merkumpul disini. Semuanya sudah menunggu. Sampai nanti ya!
“Hmm, pantas saja tidak ada orang. Semua di rumah Yoon Gi” kata Jin, setelah mengetahuinya.
“Orang tuaku juga?”
“Ayahku? Ibuku?”
“Semua berkumpul di rumahmu?”
“Mungkin” jawab Yoon Gi. “Yasudah. Ayo, cepat” Semua kembali berjalan memasiku mobil.
“Ji Young” panggil Jimin. Ji Young yang hampir masuk, menoleh ke belakang dan menatap Jimin.
“Kau, jadi semakin cantik saja” kata Jimin yang bingung harus berkata apa lagi.
“Ya! Jimin-ah. Cepatlah! Jangan merayu adikku terus!” tegur Yoon Gi, yang kemudian disambut dengan tawa renyah dari teman-temannya. Wajah Ji Young mulai memerah, menahan malu. Dia pun langsung
memasuki mobil
“Ah! Kalian menggangguku terus” kata Jimin dengan kesal, dan sambil menutup pintu agak keras. Ji Young
yang ada di sampingnya hanya tersenyum melihat tingkah Jimin.
“Baiklah, kita jalan sekarang” ucap Jin, yang duduk di bagian paling belakang berdua bersama Namjoo. Dan memang selalu seperti itu. Setiap kali Jin menoleh ke arah Namjoo, Namjoo pasti selalu tersenyum ke arahnya.
“Jin” panggil Namjoo. Jin hanya menoleh ke arahnya.
“Apa kau tidak rindu padaku?” tanya Namjoo.
Deg... kenapa tiba-tiba dia bicara seperti itu?. Batin Jin.
“Ah, tentu saja. Tiga tahun. Itu waktu yang sangat lama” jawab Jin sedikit gugup. Namjoo tersenyum sangat
manis kepada Jin, yang membuat Jin berbunga. Dan beberapa saat kemudian, Namjoo menghentakkan dirinya ke palukan Jin, yang sontak membuat Jin sangat terkejut.
“Kalau rindu, kenapa tidak memelukku dari tadi?” kata Namjoo.
Jin tidak bisa mengucapkan apapun saat itu. Dia sangat menyukai Namjoo. Tapi, entah Namjoo
menyukainya atau tidak, dia tidak memikirkan itu. Yang Jin tahu hanyalah, sadar kalau dirinya sangat
mencintai Namjoo. Keringat menyucur deras di tubuh Jin. Wajahnya yang putih mulus, mulai dihiasi oleh
butir-butir keringat yang mulai menetes dimana-mana.
“Ah, kk..kenapa panas sekali ya?” tanya Jin dengan sangat gugup.
“Itu karena ini musim panas. Jadi udaranya panas” jawab Namjoo, yang masih memeluk Jin.
Iya, aku tahu itu. Yang membuatku panas sekarang ini adalah pelukanmu, Namjoo. Bisakah kau
melepasnya? Aku sangat gugup. Batin Jin.
“Heh! Yang dibelakang itu. Jangan seenaknya berpelukan!” tegur sang leader, Nam Joon.
“Jin, jangan mencuri kesempatan dalam kesempitan” sambung Tae Hyung. Namjoo langsung melepas pelukannya dan langsung membelanya.
“Aku yang memeluknya. Aku kan merindukannya. Wajar kalau aku memeluk sahabatku sendiri” kata
Namjoo.
“Iya. Kalian jangan salah faham” sambung Jin, yang khawatir rahasianya terbongkar.
Mobil Yoon Gi berhenti yang ternyata sudah sampai di depan rumahnya.
“Ayo turun! Semuanya sudah menunggu” perintah Yoon Gi.
“Semua pasti sudah sangat merindukan kalian”
“Kenapa aku jadi deg-degan seperti ini?” ucap Tae Hyung.
“Kau ini benar-benar bodoh! Manusia pasti deg-degan. Kalau tidak, pasti sudah mati” sahut Namjoo.
“Oh iya ya? Haha..” Tae Hyung tertawa kecil.
“Kau memang masih seperti dulu” kata Jimin.
“Tae Hyung, ya Tae Hyung!” sahut Jin.
“Hahaha...” semua tertawa terbahak-bahak.
Ketujuh anak manusia itu pun memasuki halaman rumah Yoon Gi yang cukup luas itu, lalu bergegas masuk ke dalam rumah mewah itu. Benar saja. Semua memang di rumah Yoon Gi. Para orang tua itu menyambut kedatangan mereka dengan penuh kebahagiaan. Di dalam rumah itu, semuanya melepas kerinduan yang sudah meluap-luap selama tiga tahun ini. Dan kembali, kehangatan menyelimuti mereka. Kehangatan yang sekian lama menghilang, kini kembali. Berkumpulah kembali gerombolan itu setelah sekian lama terpisah dengan kesibukan masing-masing. Kembali bercanda, tertawa, membuat keramaian, dan sesekali sampai air mata bahagia menetes.
Berjam-jam mereka melepas kerinduan bersama orang tua mereka. Dan kini, saatnya kembali ke markasnya, para keenam gerombolan itu. Keenam anak itu mulai berlarian kecil, menaiki tangga, menuju ke ruang kamar Yoon Gi, tempat keenam anak itu berkumpul. Seperti biasa, Jimin dan Ji Young selalu belakangan. Jika yang lainnya berlarian kecil, Jimin dan Ji Young, hanya berjalan santai di belakang, sambil berbincang.
“Sekarang kuliah dimana?” tanya Jimin.
“Kyunghee” jawab Ji Young.
“Jurusan apa?” tanya Jimin lagi.
“Jurusan kedokteran”
“Wah, berarti sama seperti Namjoo”
“Ya begitulah” jawab Ji Young, singkat.
Sekarang Jimin kehabisan kata-kata. Bingung harus berkata apa lagi, pada makhluk datar di sampingnya itu.
Ji Young memang datar. Dia hanya akan menjawab seperlunya saat diajak bicara. Sementara Ji Young, sam sekali tidak memikirkan apa yng sedang dipikirkan Jimin. Dia juga sedang bingung. Bingung memilih, antara lelaki ini atau itu. Dia harus bisa memilih seseorang yang tepat dari ketiga lelaki itu. Ji Young selalu saja bingung. Dia menyukai Jin, tapi Jimin menyukainya. Jika dia menjatuhkan pilihan kepada Jimin, maka Ji Young akan merasa bersalah kepada temannya, Jungkook. Sebenarnya, dia tidak ingin mempermalukan Jungkook. Beberapa hari yang lalu, temannya yang bernama Jungkook itu, menyatakan perasaannya pada Ji Young.
Flashback...
“Ji Young, aku mencintaimu. Apa kau mau jadi pacarku?” Jungkook tiba-tiba berlutut di depan Ji Young yang sedang duduk di bangkunya, disaat keadaan kelas yang lengang. Semua anak memperhatikan Ji Young dan Jungkook. Ji Young sangat kebingungan. Dia sama sekali tidak menyukai Jungkook. Tapi Ji Young tidak tega menolaknya. Dia tidak mau mempermalukan Jungkook di depan teman-temannya. Apalagi, Jungkook adalah orang yang berperan penting di kampus. Selain pemilik yayasan, dia sangat pintar dan tampan.
Kemampuan akademik dan nonakademiknya tidak dapat diragukan lagi. Dan hampir seratus persen, Jungkook adalah tipe ideal Ji Young. Tapi Ji Young tidak mencintainya. Dia mencintai Jin, teman kakaknya.
“Maaf, bukannya aku menolakmu. Tapi aku butuh waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Aku tidak bisa
menjawabnya sekarang” jawab Ji Young.
Jungkook terdiam. Dia sedikit kecewa dengan jawaban Ji Young. Jungkook pikir, Ji Young akan langsung menerimanya. Tapi ternyata tidak begitu saja. Jungkook pun menuruti perkataan Ji Young.
“Baiklah. Aku akan menunggumu, Ji Young” kata Jungkook.
Ending of flashback...
Kedua anak itu, Jimin dan Ji Young pun sampai di lantai dua. Ji Young kembali tersenyum pada Jimin saat Ji Young akan masuk ke kamarnya, yang terletak di depan kamar Yoon Gi. Senyuman Ji Young membuat Jimin semakin berbunga. Rasanya dia ingin terbang ke angkasa.
“Sampai nanti, Jimin Oppa” kata Ji Young.
“Ya. Sampai nanti, Ji Young” sahut Jimin. Kemudian Ji Young masuk ke kamarnya dan menutup pintunya.
Jimin masih saja terpaku. Suara seseorang membuyarkan pikirannya.
“Jimin-ah, kukira tadi kau sudah makan” kata Tae Hyung.
Jimin menatap Tae Hyung dengan bingung. Dia sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Tae Hyung. Ya,
Jimin memang sudah makan banyak, tadi. Tapi, apa maksudnya berkata seperti itu? Jimin benar-benar tidak
mengerti.
Tae Hyung tersenyum geli melihat wajah sahabatnya yang satu itu tampak kebingungan dengan ucapannya
tadi. Dia pun menjelaskannya pada Jimin.
“Apa kau ingin memakan pintu itu hah? Sedari tadi kau memandangnya terus” kata Tae Hyung. Sekarang
Jimin mengerti apa yang dimaksudkan Tae Hyung. Dia merengut kesal sambil berjalan memasuki markas.
“Makan saja pintunya. Pasti enak” goda Jin padanya.
“Nyam nyam” sahut Namjoo.
“Pasti seperti daging panggang. Hmm..” bisik Nam Joon, yang kali ini bemar-benar membuat Jimin kesal
setengah mati.
“Enak saja. Pintunya sangat mahal. Dan tidak ada lagi yang menjualnya” kata Yoon Gi.
“Baguslah, biar kalian saja yang kumakan!” ancam Jimin dengan nada kesalnya, yang kemudian disambung
tawa dari teman-temannya.
Satu menit berlalu, satu jam berlalu, dan terus berlalu. Mereka masih menikmati kebersamaan yang telah
lama hilang. Berkumpul, bercanda, bercerita, semua hal yang tiga tahun tidak mereka lakukan, kini mereka
dapat melakukannya lagi.
Tae Hyung dan Jimin, terlihat sedang asik selca di atas kasur Yoon Gi. Nam Joon dan Yoon Gi masih saja
bicara tentang sesuatu yang tidak jauh dari kesenian. Juga Jin dan Namjoo duduk berdua di jendela kamar
yang terbuka lebar. Merasakan udara musim panas menyelimutinya. Jin dan Namjoo bercerita seputar kehidupan mereka di luar negeri.
“Wah, kau hebat sekali, Jin” puji Namjoo.
“Dan hanya aku, Gil Dong, dan Min Soo yang sampai. Kedua teman kami tewas di perjalanan. Dan itu
sangat disayangkan” jelas Jin. Namjoo merasa terharu sekaligus tertarik dengan cerita Jin tentang gunung itu.
“Kapan kita kesana?” tanya Namjoo, setelah beberapa saat yang lalu mereka berdua terdiam.
“Apa maksudmu ‘kapan kita kesana’?” tanya Jin.
“Iya. Kapan kita semua diajak ke Everest?” Namjoo berbalik bertanya.
“Ah, kau ini ada ada saja. Jangan bercanda” jawab Jin.
“Aku tidak bercanda. Aku sungguh ingin kesana” kata Namjoo.
“Tapi itu sangat berbahaya” sahut Jin, dengan wajah khawatirnya. Dia menatap Namjoo yang tadinya wajah
gadis itu terlihat berbinar, kini terlihat kecewa dengan jawabannya. Jin merasa ada sesuatu yang menghilang
dari Namjoo, dan dia sadar, dia harus memulihkan itu dengan segera.
“Kau serius, Namjoo?” tanya Jin.
“Kita akan ke Everest?” Namjoo memastikan.
“Jika kau bersungguh sungguh, maka..” Jin tidak melanjutkannya. Dia hanya tersenyum, lalu mengangguk
tanda mengiyakannya.
“Kau tidak berbohong?” Namjoo kembali memastikannya. Dan Jin kembali tersenyum dan mengangguk.
Kalau ini membuatmu bahagia, maka, baiklah. Aku akan melakukan apapun agar kau bahagia,
Namjoo. Jin ingin sekali berkata seperti itu pada Namjoo. Dia bisa melakukan apapun untuk mekhluk yang
bernama Namjoo dihadapannya itu.
“Semuanya ikut?” tanya Namjoo lagi.
“Kenapa tidak” jawab Jin.
“Huwa! Asik!” teriak Namjoo sambil melompat lompat. Jin tersenyum melihat tingkah Namjoo didepannya.
“Namjoo-ah, kau kenapa?” tanya Nam Joon. Semua mata sahabatnya tertuju pada Namjoo yang masih saja melompat-lompat di depan Jin.
“Jin, kau apakan Namjoo sampai dia jadi seperti orang gila?” tanya Yoon Gi.
“Aku tidak gila. Aku sedang senang” jawab Namjoo. “Kalian tahu? Jin mengajak kita ke Everest”
tambahnya.
“Apa?!” teriak Nam Joon. Semua menoleh ke arahnya.
Nam Joon menatap tajam ke arah Jin. Dia tahu tentang Everest. Tentang semuanya. Tentang kisah Jin. Tepatnya, kisah tragis Jin bersama teman-temannya, yang kemudian dua diantaranya tewas karena harus menyelamatkan nyawa Jin. Nam Joon tahu semuanya. Jin telah menceritakannya, tepat setelah Jin turun dari gunung itu. Peristiwa tragis itu tak akan terbayangkan oleh Nam Joon jika teman temannya ke Everest.
Kini tatapannya seakan menunjukkan ketidaksetujuannya atas keputusan Jin. Tapi seketika menjadi lain, saat tatapan Jin seakan memohon pada sang leader ini. Nam Joon mengerti perasaan temannya yang satu ini. Dia tahu, kalau Jin menyukai Namjoo. Beberapa saat kemudian, dengan tatapannya Nam Joon menyuruh Jin keluar bersamanya. Seperti akan bicara sesuatu yang serius. Akhirnya mereka keluar meninggalkan keempat temannya yang lain di markas. Yang lain tidak berani menguping pembicaraan Jin dengan Nam Joon. Karena mereka tahu, ini pasti sangat serius.
“Pasti tidak boleh” kata Namjoo, dengan nada kecewa.
“Memang kenapa?” tanya Jimin.
“Padahal aku ingin sekali ke Everest” jawab Namjoo, yang masih kecewa.
“Everest? Pegunungan tertinggi di dunia itu, kah?” sahut Tae Hyung. Namjoo mengangguk.
“Jin pernah sampai puncak?” tanya Jimin, penasaran.
“Begitulah ceritanya” jawab Namjoo.
“Kata temanku yang sudah pernah kesana, disana sangat mengagumkan. Banyak hal menarik serta
menegangkan disana. Katanya, itu adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan dan tidak bisa dilupakan”
kata Yoon Gi.
“Waah, hebat” ucap Tae Hyung, kagum.
“Aku jadi penasaran. Seperti apa Everest itu” smbung Jimin.
“Aku juga” kata Namjoo.
“Aku apa lagi” sahut Yoon Gi.
“Kalau begitu, kita dukung Jin” kata Tae Hyung dengan percaya diri.
“Tapi keputusan ada di tangan Nam Joon. Dia pasti tahu yang terbaik untuk kita” kata Jimin.
***
Jin berjalan di belakang Nam Joon. Mengikutinya menuruni tangga, dan sampai di halaman belakang rumah Yoon Gi. Mereka berdua duduk berdampingan di bangku. Masih terdiam. Nam Joon tengah menyusun kata-kata yang akan dirinya sampaikan kepada Jin.
“Kau tidak setuju?” Jin memulai pembicaraan.
“Jin. Apakah kau pernah, memikirkan bahayanya?” tanya Nam Joon.
“Tentu saja” jawabnya.
“Kau tahu kan, fisik mereka? Apalagi Namjoo. Apa kau yakin, mereka bisa sampai?”
Setelah menghela napas sejenak, Jin kembali berkata. “Aku tahu itu. Aku juga sudah memikirkannya.
Bahaya memang mengancam kita. Tidak hanya di gunung. Dimanapun kita berada, alam selalu mengancam
keselamatan makhluk hidup termasuk manusia”
“Lalu?” Nam Joon ingin Jin meneruskannya.
“Dengan niat yang baik, keadaan pasti berbalik” kata Jin.
“Maksudmu?”
“Alam pasti akan mencelakakan kita kalau kita berniat merusaknya. Tapi sebaliknya, kalau kita mencari
pengetahuan dan mempelajari alam, alam pasti akan melindungi kita” jelas Jin. “Aku yakin, alam akan
melindungi kita, karena kita tidak berniat merusaknya”
“Apa hanya dengan niat kita bisa sampai? Tidak kan?” kali ini Nam Joon semakin serius.
“Tentu saja. Fisik yang kuat sangatlah diperlukan” jawab Jin.
“Apa kau memikirkan bagaimana fisik mereka?” tanya Nam Joon.
“Apa kau meragukan mereka, Nam Joon?” Jin berbalik bertanya. Nam Joon terdiam cukup lama. Dia tidak
mungkin mengatakan fisik teman-temannya itu lemah. Apalagi Yoon Gi dan Jimin yang gemar olahraga. Nam
Joon mulai berfikir lagi. Dengan fisik yang dimiliki Yoon Gi, Jimin, dan Tae Hyung bisa jadi jaminannya. Tapi
bagaimana dengan Namjoo? Dia perempuan.
Oh, apakah Jin tidak memikirkan keadaan perempuan yang sangat dicintainya?. Dalam hati, Nam
Joon menyelanya.
“Aku yakin, mereka pasti bisa melewati rintangan demi rintangan di Everest” ujar Jin.
“Bagaimana dengan Namjoo?” tanya Nam Joon. Pertanyaan yang seharusnya membuat Jin berfikir lama,
ternyata tidak. Jin menepuk pundak Nam Joon, lalu menatapnya dengan serius.
“Aku yang akan menjaganya” kata Jin. “Karena... aku mencintainya” ucapnya dengan sangat serius.
Nam Joon terlihat berubah pikiran. Tatapan ketidak setujuannya, kini lenyaplah sudah. Sekaranga tatapannya
penuh dengan kepercayaan. Dia tidak tahu harus menjawab apalagi.
“Sekarang kau setuju?” tanya Jin.
“Disini, aku mempercayaimu, Jin” jawab Nam Joon. “Disini kau yang tahu. Dan untuk ini, kaulah leadernya”
tambahnya.
Jin tersenyum, kemudian menggeleng. “Tidak. Kau akan tetap jadi leader. Kaulah pemimpin di gerombolan
ini” katanya.
“Aku percaya padamu”
“Aku juga”
***
Ji Young berdiri cukup lama dibalik pintu. Matanya berkaca-kaca, dan kemudian bening kristal pun menetes,
membasahi pipinya. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Ji Young sangat menyukainya.
Tapi ternyata keputusannya sangat salah besar. Dia memilih seseorang yang salah.
“Aku yang akan menjaganya”
“Karena... aku mencintainya”
Ji Young menyesal telah mendengar kata-kata menyakitkan itu. Tapi dia bersyukur telah mendengarnya.
Kalau tidak, dia akan terlalu jauh mencintai Jin, yang sama sekali tidak mencintainya. Ji Young menyela
dirinya sendiri dalam hati.
Bodoh! Kenapa aku bodoh sekali? Untuk apa aku memilihnya, yang sama sekali tidak menyukaiku?
Aku benar-benar bodoh. Ada orang yang lebih mencintaiku, tapi kenapa aku tidak pernah
melihatnya? Kenapa aku sama sekali tidak menghiraukannya?
Ji Young menangis. Air matanya begitu deras mengalir membasahi pipinya. Menangis tanpa suara. Itu
sungguh menyakitkan. Hatinya sakit, terasa teriris. Hancur berkeping keping. Merasakan cinta yang tak berbalas, dan menghiraukan cinta di depan matanya. Matanya yang buta karena terlalu mencintai Jin.
Dirinya terduduk lemas, berselojor di balik pintu yang tertutup rapat. Tubuhnya berguncang menahan suara tangisnya. Pertama kali dia rasakan, rasanya patah hati, yang sangat menyakitkan.
***
Keempat anak itu, sedang mondar mandir. Yoon Gi di depan pintu, Jimin dan Tae Hyung di samping ranjang, dan Namjoo di dekat jendela. Keempat anak itu sekarang sudah mulai merasa bosan. Tapi juga ada perasaan berdebar.
“Ck..” Jimin berdecak, lalu menghela nafasnya.
“Ya ampun, kenapa lama sekali?” tanya Yoon Gi.
“Sebenarnya apa sih, yang mereka bicarakan?” sambung Tae Hyung.
“Aku tidak sabar menunggu keputusannya” kata Jimin. Namjoo, yang akan mencoba bersuara, langsung
mengurungkan niatnya setelah pintu terbuka dan masuklah Jin dan Nam Joon. Suasana jadi semakin
mendebarkan. Tidak ada yang memulai berbicara. Tapi kemudian, Nam Joon mengeluarkan suaranya,
setelah bertemu pandang dengan Jin dan saling tersenyum.
“Teman-teman, persiapkan diri kalian! Kita pergi lima hari lagi!” teriak Nam Joon. Jin tersenyum ke arah
keempat temannya, seakan memberika tanda kalau sang leader ini telah setuju untuk pergi.
“Jadi, kita...” Namjoo tidak melanjutkan perkataannya, karena dia sudah tahu jawaban pastinya.
“Ya! Kita akan ke Everest lima hari lagi. Jadi, persiapkan diri kalian sebaik mungkin” kata Nam Joon.
“Huwa! Benarkah itu?” tanya Tae Hyung yang sangat antusias ingin pergi. Jin mengangguk dan tersenyum ke
arah Tae Hyung, tanda mengiyakannya.
“Jadi, sekarang apa yang perlu dipersiapkan?” tanya Jimin.
“Karena kita akan naik gunung, maka yang harus kalian persiapkan pertama adalah fisik yang
memungkinkan. Maka dari itu, usahakan rajinlah berolahraga” jawab Jin. “Kemudian pakaian hangat”
“Kenapa pakaian hangat? Bukannya sekarang musim panas?” tanya Namjoo.
“Biarpun sekarang musim panas, di Everest tetap saja dingin. Kita tahu kan, kalau semakin tinggi daratan,
maka udara akan semakin dingin dan oksigen pun semakin menipis. Jadi, sepanas apapun cuaca, di Everest
tetap dingin” jelas Jin.
“Oh, begitu. Lalu?”
“Kemudian perlengkapan camping. Masing-masing orang harus membawa tas carrie, yang minimal cukup
untuk membawa barang pribadi masing-masing. Persiapkan bekal makanan dan minuman, yang sekiranya
cukup untuk dua belas hari” jelas Jin.
“Apa? Dua belas hari? Apa itu tidak salah? Setahuku, mendaki gunung hanya tiga hari saja” sahut Jimin.
“Memang. Kita mendaki Everest kurang lebih empat hari, jika tidak ada kendala. Tapi sebelum itu, kita akan
melakukan penyesuaian di kaki gunung, selama satu minggu” jawab Jin.
“Bagaimana? Kalian siap?” tanya Nam Joon. Jimin, Tae Hyung, Namjoo, dan Yoon Gi saling berpandangan.
Mereka tidak menyangka, persiapannya sebanyak ini. Padahal sebelumnya, mereka tidak sampai berfikiran
sedemikian. Tapi ini sudah terlanjur. Maka, apapun yang terjadi mereka harus siap menjalaninya.
“Baiklah, kami siap” kata Yoon Gi, mewakili semunya.
“Baik. Jadi, ini keputusan bersama. Kita akan ke Everest. Dan mulai sekarang juga, persiapkan diri kalian
sebaik mungkin!” kata Nam Joon.
“Ye!” jawab mereka bersamaan. [TBC]
--Thanks For Reading--
0 komentar:
Posting Komentar